Menyaksikan posisi Terminal Peti Kemas Koja yang kini menjadi agunan Global bond membuat miris. Potensi besar ekonomi di teluk Jakarta itu kini dalam keadaan carut marut, seharusnya TPK Koja bisa berkembang bersama JICT dalam kendali anak bangsa. Namun fakta berkata lain.
Global Bond yang Merugikan Negara
Global bond adalah obligasi internasional atau surat utang negara yang diterbitkan oleh suatu negara dalam valuta asing. Berbeda dengan utang-utang resmi (pinjaman pemerintah dari negara-negara donor), global bond tidak mengikat seperti pinjaman resmi dimana alokasi penggunaannya sudah ditentukan. (www.wikipedia.com)
Pelindo II menerbitkan Global Bond sebesar USD 1.6 miliar pada Mei 2015. Global Bond tidak boleh dibeli di dalam negeri, Selain itu yang menjadi jaminan adalah TPK Koja, meski masa kontrak seharusnya telah berakhir namun karena adanya global bond ini maka kontrak harus diperpanjang.
Global bond yang telah terbit saat ini dananya justru tak jelas penggunaannya. Semula diniatkan untuk membangun Tanjung Carat, Kijing dan Sorot. Namun pembangunan di berhenti alias mangkrak, tak ada kelanjutannya. Sementara sisa dana sebanyak 50% dideposito sebagai dana menganggur dengan bunga yang jauh lebih kecil dibanding bunga global bond yang dibayarkan.
Melihat skema tersebut saja sudah jelas penerbitan global bond telah merugikan negara yang harus menanggung beban hutang dan bunga. Terlebih dengan adanya janiman TPK Koja sehingga kita tak memiliki kekuasaan dalam pengelolaan industri peti kemas di sana. Artinya hasil dari operasional TPK Koja akan masuk ke kantung investor.
Perihal perpanjangan kontrak TPK Koja dapat dilihat pada artikel berkut:
sumber: TPK Koja |
sumber: TPK Koja |
Kerugian negara minimal USD 39.79 juta atau sekitar Rp. 539,03 miliar, dihitung dari selisih pendapatan bunga deposito atas masa menganggur sejak mei 2015 hingga Desember 2017. Sedangkan untuk global bond yang dikeluarkan Pelindo II dikenakan beban bunga Rp. 1,2 trilyun per tahun atau bekisar Rp. 100-150 miliar per bulannya. Kerugian tersebut diungkapkan dalam laporan hasil investigasi BPK.
Akibat tertundanya pengoperasian terminal kali baru hingga rencana pemasukkan pun tertunda maka terindikasi Pelindo II tidak dapat membayar global bond tersebut. JICT dan TPK Koja dijadikan jaminan berada dalam bahaya. Selain itu juga adanya conflict of interest pada penerbitan global bond karena pemberi utang, negosiator dan arranger adalah pihak yang sama yaitu Deutsche Bank.
Penunjukkan Deutsche Bank Hongkong sebagai financial advisor juga diluar prosedur yang seharusnya, sehingga kerugian semakin membesar karena kredibilitas DB dipertanyakan dengan adanya konflik kepentingan tersebut. Tentu saja yang mendapat keuntungan adalah pihak pemeberi global bond selain mendapat pembayaran bunga yang besar juga mendapat jaminan asset yang dinilai terlalu rendah oleh DB. Sementara penerbitan global bond sendiri tidak jelas fungsinya. Terbukti justru menjadi beban bagi Pelindo II.
Terminal Kalibaru
Terminal kalibaru terkait juga dengan kasus JICT dan TPK Koja. Karena pengahsilan dari terminal kalibarulah yang diharapkan dapat menutup pembayaran global bond. Namun dalam kenyataannya hal ini tidak terjadi. Justru sebaliknya dalam proses pembangunannya telah terjadi penyimpangan yang menyebabkan indikasi kerugian negara sebesar sekitar Rp 1.032 triliun.
Pembangunan terminal kalibaru juga gagal struktur. Konsensi diberikan kepada PSA dan Mitsui untuk jangka waktu 90 tahun, namun penggunaan struktur hanya selama 20 tahun. Kondisi ini diperparah dengan tidak didapatannya deviden bagi Pelindo selama 20 tahun pertama dan baru mendapat pembayaran jika okupasi terminal mencapai 70%. Pertumbuhan industri petikemas tidak sebanding dengan target pencapaian tersebut. Maka terlihat jelas bahwa pengahsilan yang diharapkan dari terminal kalibaru hanya angan-angan kosong sampai waktu yang tidak dapat ditentukan.
Gurita Permasalahan
Gurita permasalahn Pelindo II dengan terminal-terminalnya yaitu JICT, TPK Koja dan kali baru yang terletak di Tanjung Priok ini jelas membutuhkan penanganan yang serius dari pemerintah. Asset nasional yang menjadi taruhnya jika kita hanya berdiam diri dan tidak bergerak. BPK yang masih terus melaksanakan audit investigasi khusunya untuk terminal kali baru diharapkan mendapat hasil yang dapat membuka mata seluruh rakyak Indonesia akan pentingnya untuk menuntaskan pembenahan BUMN yang menangani pelabuhan di Indonesia. Serta adanya penegakkan hukum untuk menuntaskan kasus-kasus yang merugikan negara.
Salam
Eka Murti