GWRF 2019: Buku dan Perjalanan Menembus Batas

GWRF 2019: Buku dan Perjalanan Menembus Batas


GWRF2019

Jika penulis dan pembaca bertemu di GWRF 2019 (Gramedia Writer & Reader Forum) yang dibahas tentu saja BUKU. Bukan hanya proses perjalanan sebuah ide yang dieksekusi menjadi sebuah buku tetapi juga perjalanan buku-buku tersebut sampai ke tangan pembacanya dan dapat dirasakan manfaatnya.

It’s not destination it’s a journey

GWRF 2019
Yang terpenting adalah perjalanan itu sediri bukan tujuan akhirnya. Topik ini muncul saat berbincang dengan para petualang yang berkeliling Indonesia dan dunia serta menceritakan kisah-kisah seru mereka dalam sebuah buku.

Ngobrol asyik bersama tiga petualang yang telah menulis buku tentang perjalanan mereka (Hendra Fu, Claudia Kaunang & Trinity) merupakan sebuah oase yang menyegarkan di tengah-tengah tema-tema lainnya yang lebih serius di GWRF 2019 ini.
Menyimak bagaimana mempersiapkan sebuah perjalanan membutuhkan persiapan yang matang khususnya mental baja jika kita ingin melakukan solo traveling.
Sebuah perjalanan membutuhkan perencanaan yang baik meskipun situasi bisa berubah seratus delapan puluh derajat di lapangan. Terlebih saat kita berhadapan dengan lingkungan dan budaya asing dengan bahasa yang tidak kita pahami.
Sebuah perjalanan adalah proses belajar tentang kehidupan. Mengenal manusia lain yang sama-sama menetap di bumi ini. Bukan untuk saling membandingkan tapi untuk saling belajar dan mengembangkan toleransi.
Sebuah perjalanan adalah waktu untuk mengenal diri sendiri, kemampuan serta batasan-batasan diri sendiri.
Sebuah perjalanan memberi pelajaran kehidupan yang masiv, karena pengalaman adalah guru yang terbaik.

Keseruan kelas-kelas GWRF 2019 lainnya bisa dilihat disini:

It’s a destination and also a journey

GWRF 2019

Yups, tujuan itu penting bagi perjalanan sebuah buku hingga dapat dinikmati dan diambil manfaatnya oleh pembacanya.
Maka seharusnya buku tersampaikan kepada pembaca sesuai tujuan awal penulis dan kebutuhan pembaca.

Bagi komunitas literasi, meningkatkan minat baca bukan hanya perkara kurangnya pasokan buku, namun seringkali buku yang tersedia tak sesuai dengan kebutuhan pembacanya. Bagi masyarakat yang hidup dari melaut tentu lebih membutuhkan buku-buku terkait teknik penangkapan ikan ketimbang buku tentang cara pembuatan pupuk organik untuk tanaman buah. Pun usia pembaca, banyak buku yang beredar di taman-taman baca tak sesuai bagi anak-anak yang justru paling sering memanfaatkan fasilitas taman baca tersebut.
Permasalahan-permasalahan ini merupakan bagian dari perjalanan komunitas literasi di Nusantara. Terutama di daerah 3T,  merupakan daerah tertinggal, terdepan dan terluar di Indonesia. Di daerah yang jauh dari ibu kota provinsi memiliki masalah yang kompleks. Salah satunya pertumbuhan ekonomi yang masih terhambat akibat kurangnya pembangunan infrastruktur. Selain itu masih ada masalah buta huruf.
Penduduk yang buta huruf pada 1995 masih berada di atas 13%, tapi mulai 2014 telah berada di bawah 5%. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik penduduk usia di atas 10 tahun yang buta huruf pada 2017 mencapai 4,08% dari total populasi penduduk usia di atas 10 tahun. Angka ini lebih rendah dari tahun sebelumnya 4,19%. Sementara penduduk usia 15 tahun ke atas yang buta huruf 4,5% dan penduduk usia 15-45 tahun yang tidak bisa membaca dan menulis 0,94%. Adapun penduduk usia di atas 45 tahun yang buta huruf mencapai 11,08%.
Maka gerakan komunitas literasi menjadi ujung tombak memberantas buka huruf sebagai bagian dari literasi dasar yang harus dikuasai oleh masyarakat Indonesia.
Sebuah buku bukan hanya hasil pemikiran penulis yang tertuang dalam lembar-lembar cetakan namun jauh daripada itu memiliki efek domino yang panjang bagi pembaca secara individu, bagi lingkungan dan muaranya adalah manfaat yang signifikan bagi sebuah bangsa.
Salam Literasi
Eka Murti

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.