GWRF 2019 Diawali dengan sebuah kelas dimana penulis-penulis generasi milenial yang menjadi pembicara. Dengan gaya bicara yang santai namun penuh semangat memberi gambaran bagaimana generasi milenial dalam menanggapi berbagai persoalan dalam hidup kesehariannya, lugas dan cepat.
Generasi Milenial dan Media Sosial
Sesi kali ini membicarakan topik “Show your creation with social media”. Interaksi ketiga penulis Luluk HF, Poppi Pertiwi & Asabella Audida secara atraktif memberi ganbaran bagaimana menjadi penulis “zaman now”. Kemampuan mengembangkan ide menjadi sebuah cerita tentu menjadi poin utama. Namun ada hal penting lain yang tak luput harus diperhatikan jika ingin cerita kita dibaca khalayak luas.
Ketiga penulis bukan hanya menulis sesuai segmen mereka yaitu remaja dan dewasa muda saja namun juga mengembangkan kemampuan untuk menarik minat orang membaca buku mereka. Sesuai segmen pembacanya cara mempromosikan cerita mereka pun menggunakan media yang paling dipahami generasi milenial “media sosial”.
Mereka bukan hanya “menjual” kisah namun juga berkomunikasi dan berinteraksi dengan pembaca melalui media sosial. Hal ini terbukti memberi dampak positif dalam penjualan buku-buku mereka. Penulis dan pembaca nyaris tak berjarak. Kondisi ini membentuk sebuah komunitas pembaca yang militan, yang selalu menanti cerita-cerita selanjutnya.
Nampaknya mempromosikan tulisan melalui media sosial adalah pekerjaan mudah. Karena hanya dengan ketik dan klik di media sosial semua bisa terjadi dalam sekejap. Sesungguhnya hal ini bukan pekerjaan remeh semata, tapi dibutuhkan kerja keras dan konsistensi untuk terus menjaga antusiasme “crowd”. Manajemen media sosial pun dikelola secara sungguh-sungguh oleh sebuah tim khusus. Memiliki rencana dan strategi yang dapat menarik minat pembaca sangat diperlukan mengingat segala sesuatu di media sosial dapat berubah dengan cepat. Harus selalu up to date dengan kondisi saat ini dan kemampuan memprediksi tren ke depan dan segera mengantisipasinya.
Sastra Indonesia di Kancah Dunia
Di Kelas yang lain pembicaraan tentang sastra Indonesia menjadi sebuah diskusi yang menarik.
Ayu Utami dan Anya Rompas adalah dua orang penulis dengan genre dan idealisme yang berbeda. Timbul sebuah pertanyaan “sastra Indonesia itu seperti apa?” Definisi dan legitimasi siapa dan bagaimana sastra Indonesia seharusnya menjadi perbincangan yang seru dan “hot”.
Masing-masing pembicara memiliki pendapat yang dipegang kuat hingga akhir kelas. Kami, para pembaca yang menjadi peserta di kelas itu— jika belum tahu— menjadi paham apa yang sebenarnya terjadi di kalangan penulis Indonesia saat ini.
Saya mengambil kesimpulan sederhana bahwa sastra Indonesia dikancah dunia adalah sebuah perjalanan panjang yang diwarnai pergolakan di kalangan pelaku sastra itu sendiri. Lalu pertanyaan itu pun terus bergaung “Seperti apakah wujud wajah sastra Indonesia yang akan di kenal dunia?” Jawabannya jelas tak akan ditemukan dalam ruang kelas manapun.
Keseruan kelas-kelas GWRF 2019 lainnya bisa dilihat di sini:
Sejatinya sastra adalah expresi jiwa bukan semata pada definisi dan legitimasi oleh kubu-kubu yang terkungkung pandangan sempit.
Seharusnya perbedaan memperluas lahan berkembangnya literasi bukan sebaliknya justru membatasi atau menyekat-nyekat.
Dua kelas hari ini memberi gambaran dunia lietarasi yang berbeda berkembang sesuai habitat masing-masing. Memberi warna dan memperkaya khasanah literasi bahasa dan budaya masyarakat.
Salam literasi
Eka Murti
#GWRF2019