GWRF 2019: TAK PERLU ADA PENDEFINISIAN KARYA SASTRA INDONESIA


GWRF 2019


Sudah menjadi pemahaman umum saat membaca sebuah karya sastra lalu sertamerta membuat kategorinya apakah tulisan tersebut merupakan sebuah puisi atau prosa.

Dua pembicara yang hadir di kelas GWRF 2019 kali ini adalah senior dalam bidang sastra Indonesia. Salah satunya bahkan hingga saat ini masih aktif mengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Prof Sapardi Djoko Damono yang akrab disapa “Eyang” adalah seorang sastrawan dan budayawan dengan jam terbang yang tinggi.

Nara sumber berikutnya adalah Yudhistira AMN Massardi, seorang sastrawan yang pernah berhenti menulis selama 25 tahun dan membuat kejutan tahun ini dengan mengeluarkan novel baru.

Keseruan kelas-kelas GWRF 2019 lainnya bisa dilihat di sini:

Puisi dan Prosa

Prosa adalah suatu jenis tulisan yang dibedakan dengan puisi karena variasi ritme yang dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan arti leksikalnya. Kata prosa berasal dari bahasa latin “prosa” yang artinya “terus terang”. Jenis tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu fakta atau ide.

Sedangkan puisi menurut KBBI adalah:
Ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus.

Eyang Sapardi menegaskan bahwa definisi puisi atau prosa itu berasal dari luar negeri belum tentu sesuai dengan kondisi indonesia. Jadi tak perlu melabel karya sastra Indonesia. Terkadang bahkan penulisnya pun hanya menulis saja tidak memasukan karyanya dalam kategori tertentu.
Jadi terserah pada pembaca ingin memersepsikannya seperti apa. Tak perlu lagi mengaitkan sebuah karya dengan si penulis. Karena saat sebuah karya lahir maka si penulis mati. Artinya diri pribadi penulis telah lebur ke dalam karyanya. Sehingga cukup hanya mengapresiasi karya sastra tersebut saja.
Menulis Sajalah!


Menurut Yudhistira menulis dan membaca adalah satu koin dua sisi. Mulai menulis dari satu huruf. Sedangkan Eyang Sapardi menegaskan menulislah jangan pernah takut dituduh menjiplak. Lebih baik mencuri ilmu dari orang lain saat kita mengembangkan kemampuan menulis.
Selanjutnya Eyang Sapardi mengisahkan masa-masa lalu kesulitan dalam mengakses karya-karya sastra sebagai rujukan. Jangan mempermasalahkan akan menjadi seperti apa karya kita nantinya.

Sibuklah berkarya dan terus belajar tak perlu mengkotak-kotakan karya kita atau bahkan mendefinisikan diri sebagai penulis puisi atau penulis novel. Apapun hasilnya itulah pengejawantahan diri penulis. Bebaskan dan tuangkan ide dan imajinasi dalam karya kita.

Bersama Yudhistira AMN Massardi
Ada beberapa karya yang butuh waktu lama untuk diselesaikan tetapi ada yang hanya membutuhkan waktu singkat.
Bagi Yudhistira puisi adalah Percikan perasaan dan pikiran yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Eyang Sapardi di suatu waktu pernah menulis 18 buah puisi dalam sehari.
Sastra dan Teknologi



Berbeda dengan generasi sekarang yang sangat mudah mendapat informasi apapun melalui kecanggihan teknologi. Tak perlu memisahkan karya sastra dari teknologi justru harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Namun jika ternyata teknologi tidak mendekatkan komunitas sastra dengan karya-karya sastra itu adalah akibat kemalasan.

Komunitas sastra lebih sibuk dengan diri sendiri tapi malas membaca. Padahal kemudahan akses terhadap karya sastra semakin mudah.

Generasi milenial dimanjakan dengan teknologi. Semua media untuk menulis sudah terbuka. Bisa melalui perangkat handphone yang praktis dan sangat memudahkan.

Media penayangan karya pun skr lebih mudah. Dan juga termasuk media untuk mencari referensi.

Masalah lainnya dalam mengenalkan karya sastra kepada generasi muda adalah guru-guru yang tidak membaca karya sastra. Sudah waktunya melek sastra dan bahasa sehingga dapat menyebarkan virus literasi pada anak didik.

Perkembangan teknologi seharusnya membuat karya sastra semakin dekat dengan pembaca dan penulis pun mendapat kemudahan dalam mengembangkan diri dan menyebarluaskan karya-karyanya.

GWRF 2019
Salam literasi
Eka Murti

0 Shares:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

You May Also Like