GWRF 2019: TAK PERLU ADA PENDEFINISIAN KARYA SASTRA INDONESIA
GWRF 2019 |
Keseruan kelas-kelas GWRF 2019 lainnya bisa dilihat di sini:
Prosa adalah suatu jenis tulisan yang dibedakan dengan puisi karena variasi ritme yang dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan arti leksikalnya. Kata prosa berasal dari bahasa latin “prosa” yang artinya “terus terang”. Jenis tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu fakta atau ide.
Ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus.
Menurut Yudhistira menulis dan membaca adalah satu koin dua sisi. Mulai menulis dari satu huruf. Sedangkan Eyang Sapardi menegaskan menulislah jangan pernah takut dituduh menjiplak. Lebih baik mencuri ilmu dari orang lain saat kita mengembangkan kemampuan menulis.
Selanjutnya Eyang Sapardi mengisahkan masa-masa lalu kesulitan dalam mengakses karya-karya sastra sebagai rujukan. Jangan mempermasalahkan akan menjadi seperti apa karya kita nantinya.
Sibuklah berkarya dan terus belajar tak perlu mengkotak-kotakan karya kita atau bahkan mendefinisikan diri sebagai penulis puisi atau penulis novel. Apapun hasilnya itulah pengejawantahan diri penulis. Bebaskan dan tuangkan ide dan imajinasi dalam karya kita.
Bersama Yudhistira AMN Massardi |
Bagi Yudhistira puisi adalah Percikan perasaan dan pikiran yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Eyang Sapardi di suatu waktu pernah menulis 18 buah puisi dalam sehari.
Berbeda dengan generasi sekarang yang sangat mudah mendapat informasi apapun melalui kecanggihan teknologi. Tak perlu memisahkan karya sastra dari teknologi justru harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Namun jika ternyata teknologi tidak mendekatkan komunitas sastra dengan karya-karya sastra itu adalah akibat kemalasan.
Komunitas sastra lebih sibuk dengan diri sendiri tapi malas membaca. Padahal kemudahan akses terhadap karya sastra semakin mudah.
Generasi milenial dimanjakan dengan teknologi. Semua media untuk menulis sudah terbuka. Bisa melalui perangkat handphone yang praktis dan sangat memudahkan.
Media penayangan karya pun skr lebih mudah. Dan juga termasuk media untuk mencari referensi.
Masalah lainnya dalam mengenalkan karya sastra kepada generasi muda adalah guru-guru yang tidak membaca karya sastra. Sudah waktunya melek sastra dan bahasa sehingga dapat menyebarkan virus literasi pada anak didik.
Perkembangan teknologi seharusnya membuat karya sastra semakin dekat dengan pembaca dan penulis pun mendapat kemudahan dalam mengembangkan diri dan menyebarluaskan karya-karyanya.
GWRF 2019 |